Kamis, 28 Maret 2013

Angin


     "Sejak kapan, sih, lo suka angin?" Leo menoleh ke arahku.
     Aku merapikan rok yang takutnya tersingkap saat aku duduk memeluk lutut dan kemudian menatap kincir angin yang kupegang hingga kincir itu makin lambat berputar. Kemudian, aku menaikkan bahu. "Entahlah.."


     "Eh, Aika, lo tuh lucu banget, deh.." Aku merasakan ia tersenyum ke arahku. Mataku masih menatap ke arah kincir angin yang berputar seiring dengan irama angin.
     "Hm?"
     "Ardi si kutubuku di pojokan suka buku, cewek-cewek kebanyakan suka dandan. Eh, elo, suka angin." Leo ikut-ikutan menatap kincir anginku. Ia mencari-cari sesuatu di belakang tempat duduknya. Kemudian tangannya menggenggam sebuah kincir angin yang tak jauh berbeda dengan milikku. Hanya saja punyanya berwarna biru. Sedangkan milikku berwarna hijau dengan glitter kuning.
     Kami berdua terdiam menikmati gerakan berputarnya kincir yang menggambarkan berputarnya waktu di antara kami.
     "Tapi elo nggak aneh, kok." Leo melanjutkan kalimatnya.
     "Emang enggak."
     "Lo lucu."
     "Terserah."
     Leo menancapkan kincir anginnya di tanah dengan dataran lebih tinggi dari tempat kami berdua duduk. "Lo mau denger cerita?"
     "Terserah."
     Aku merasakan Leo tersenyum geli ke arahku. Namun ia segera menarik kembali lekukan bibirnya ke tempat semula. "Gue punya temen."
     Aku juga ikut menancapkan kincirku di samping kincir Leo. Pegal juga lama-lama memegang kincir yang tak kunjung berputar lebih kencang.
     "Tuh kan, lo tertarik."
     "Gue pegang lagi nih kincir! Keram-keram deh tangan gue! Lo bayarin biaya rumah sakit kalo tangan gue mesti diamputasi!" 
    Leo tertawa melihat tingkahku. Kemudian mengucapkan kata yang sudah beribu kali aku dengar. "Lo lucu."
     "Terserah."
     Leo masih tetap tertawa. "Gue punya temen yang suka hujan. Padahal kan, ya, hujan tuh ngerepotin banget. Gue jadi gak bisa bawa motor ngebut, jaket gue basah, ditambah genangan air yang bikin motor gue kotor!"
     Aku terdiam menatapi awan yang bergerak. Menunggunya melanjutkan ceritanya.
     "Tapi itulah dia, dia suka ujan."
     "Hm... Gak aneh sih menurut gue. Mungkin, dia punya kenangan indah di tengah hujan. Dan kenangan itu gak bisa dia lupain."
     "Kalo lo? Kenapa lo bisa suka angin?"
     "Belom saatnya gue bisa cerita ke elo." Angin berhembus makin kencang. Aku merapikan rambutku yang terbang sesuai arahnya angin.
     "Ya udah, gue tunggu sampe saatnya tiba."
     "Terserah."
   
     Kami terdiam sambil memegangi kedua kincir kami. Menikmati hembusan yang seakan memiliki irama. Kadang cepat, kadang lambat. Sampai akhirnya hembusan terasa bersahabat.
     "Lo mau tau gue suka apa?"
     "Apaan? Motor? Ngeband? Udah bosen gue dengernya."
     "Nggak."
     "Jadi?"
     "Elo."
     Angin berhembus makin kencang. Sekencang debaran jantungku yang tak kunjung memberi jeda istirahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar